Seminar The Beauty of Mathematics yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Matematika (HIMATIKA) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsika berjalan interaktif. Pasalnya, dalam seminar yang diadakan di aula utama Unsika, Sabtu 4 April 2015 itu, peserta seminar banyak yang melontarkan respon serta pertanyaan kepada narasumber tunggal Sujiwo Tejo.
Seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh Imam Rosadi, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Jakarta Timur. Imam menanyakan kegunaan matematika dalam bidang seni dan budaya, mengingat Indonesia kaya akan dua hal tersebut.
Sujiwo yang pada waktu itu mengenakan setelan jaket serta sarung bercorak wajah para ilmuan lantas menjawab dengan lantang. Menurutnya, ada korelasi yang sangat kentara antara matematika dengan seni budaya.
"Matematika bisa diterapkan di setiap elemen kehidupan, seperti yang diterapkan dalam seni-budaya. Di dalam matematika ada teori golden ratio,yang mana teori itu membahas perihal proporsionalnya suatu objek jika dipandang oleh mata, tentunya dengan rumus-rumus." katanya.
Dan jika golden ratio itu diterapkan untuk menghitung pergerakan seorang penari jaipong, kata Sujiwo, maka penari akan lebih enak dipandang mata lantaran tidak berlebihan dalam melakukan gerakan moving (perpindahan).
"Keindahan yang sebelumnya sudah dimiliki oleh sang penari, bisa ditambah dengan proporsionalnya gerakan dengan perhitungan golden ratio." jelasnya.
Seminar tersebut dibagi menjadi tiga termin oleh Sujiwo Tejo. Dalam termin pertama, Sujiwo menerangkan tentang matematika yang juga sebenarnya merupakan bahasa kehidupan. Kemudian termin kedua, Sujiwo menerangkan bahwa matematika bisa dipakai untuk mencari pola.
"Di dalam kepala orang matematika, biasanya, selalu ada keinginan untuk mencari pola kenapa hal ini begini, dan hal itu begitu. Contohnya soal kemacetan lalu lintas. Orang matematika akan mencari pola pada jam berapa kemacetan terjadi, lalu pada jam masuk sekolah dan kerja kemacetan seberapa parah, dan yang lain-lain. Tapi orang matematika sebatas menemukan pola saja," katanya.
Kemudian dalam termin ketiga, Sujiwo menjelaskan bahwa bahasa matematika merupakan bahasa kesepakatan yang oleh bangsa, adat, maupun suku dimanapun pasti diterima. Artinya, kata dia, bahasa matematika adalah bahasa yang mutlak dan tidak multi-tafsir.
"Jika dalam bahasa Indonesia kata 'dasar' mempunyai dua makna, yakni 'mengumpat' dan 'landasa', maka dalam matematika tidak begitu. Semua orang didunia ini pasti sepakat bahwa lambang + merupakan lambang untuk penjumlahan, tidak untuk yang lain. Intinya, bahasa matematika bukanlah bahasa yang ambigu," katanya.
Pada awalnya, menurut Ketua Pelaksana Khaerul Rizal, panitia hanya menyediakan tiket sebanyak 300 eksemplar saja untuk seminar tersebut. Namun lantaran antusaisme masyarakat yang sangat kuat untuk ingin bisa ikut dalam seminar tersebut, panitia akhirnya terpaksa menambah tiket menjadi 365 eksemplar. "Jadi yang hadir pada hari ini sebanyak 365 peserta," katanya. (cr3/ads)
Dikutip dari Koran Berita Edisi Senin, 6 April 2015 hal 14
Posting Komentar